Keinginan rezim SBY untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, jika revisi nanti disetujui DPR, maka bisa menjurus pada pemberlakukan UU ISA (Internal Securiry Act) seperti di Malaysia atau kembali ke zaman otoriter Orde Baru, dimana seseorang yang dicurigai anti pemerintah bisa ditangkap sewenang-wenang tanpa melalui proses pengadilan.
Pemberlakuan ISA di Malaysia memungkinkan seseorang yang dicurigai polisi sebagai teroris dapat ditahan tanpa proses pengadilan selama 2 tahun dengan dalih membahayakan keamanan negara, sehingga bisa disalahgunakan untuk membungkam lawan-lawan politik pemerintah. Sedangkan pada UU terorisme hanya ditahan maksimal 7 hari sejak pertama kali ditangkap. Jika tidak ditemukan cukup bukti, maka wajib dilepaskan.
Pemberlakuan ISA di Malaysia memungkinkan seseorang yang dicurigai polisi sebagai teroris dapat ditahan tanpa proses pengadilan selama 2 tahun dengan dalih membahayakan keamanan negara, sehingga bisa disalahgunakan untuk membungkam lawan-lawan politik pemerintah. Sedangkan pada UU terorisme hanya ditahan maksimal 7 hari sejak pertama kali ditangkap. Jika tidak ditemukan cukup bukti, maka wajib dilepaskan.
Namun bagi mantan komandan pertama Densus 88 Mabes Polri, Komjen (Pol) Drs Gories Mere, sesungguhnya UU Terorisme cukup kontroversial, sebab pernah diberlakukan secara berlaku surut terhadap ketiga pelaku Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera, sehingga ketiganya dieksekusi mati tahun 2008 lalu.
“Di dunia ini hanya ada dua UU yang diberlakukan secara berlaku surut, yakni UU Nazi di Jerman untuk menghukum para penjahat perang Nazi pasca PD II dan UU Terorisme di Indonesia,” ujar Kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Pol) Drs Gories Mere kepada Suara Islam seusai melantik para Pejabat BNN Eselon II, III, IV di Kantor Pusat BNN Jakarta, Rabu (19/5).
Menurut Gories Mere, UU Nazi dibuat tahun 1947 sementara para penjahat perang Nazi Jerman ditangkap tentara sekutu tahun 1945 pasca berakhirnya PD II. Sedangkan UU Terorisme ditetapkan Presiden Megawati pada 4 April 2003 sementara Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera melakukan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002.
Karena UU Terorisme dinilai bermasalah dalam penetapan berlaku surut terhadap ketiga pelaku Bom Bali I, maka oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pemberlakuan berlaku surut itu dibatalkan pada tahun 2005, namun ketiganya oleh Pengadilan terlanjur ditetapkan mendapat hukuman mati.
Menurut Gories Mere, sesuai dengan Keputusan MK tersebut, jika nantinya pelaku Bom Bali I seperti Hambali yang sekarang ditahan di penjara Guantanamo AS berhasil diekstradisi ke Indonesia, maka UU Terorisme tidak akan diberlakukan terhadap dirinya. Sebab penetapan berlaku surut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
Komentar :
Posting Komentar