DENGAN masjid tak kurang dari 30 buah, kota Hamburg, Jerman, menawarkan kemudahan bagi kaum Muslim. Selain tempat ibadah, kedai dan restoran yang menjual makanan dan minuman halal mudah sekali ditemukan di kota yang ditaburi aneka taman dan danau indah nan syahdu itu. Di Hamburg ada pula toko dan restoran halal Indonesia. Di situ, orang dapat membeli aneka bahan makanan maupun hidangan siap santap khas Indonesia, dan halal pula.
Bagi warga muslim Indonesia, Hamburg juga menawarkan majelis-majelis pengajian yang memberikan siraman ruhani. Dari pengajian anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak hingga kajian ke-Islaman untuk ibu-ibu. Pengajian bapak-bapak biasanya diadakan setiap Jum’at malam, sebagaimana dikisahkan Hidayatullah.Com sebelumnya (baca: Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!). Pengajian ibu-ibu biasanya dilakukan setiap hari Sabtu seusai acara Taman Al Qur’an anak-anak dan remaja. Selain itu, ada lagi pengajian ibu-ibu bulanan di hari Ahad, sebagaimana pula pengajian muda-mudi yang dijadwalkan setiap bulan di hari Sabtu (baca: Memotong Besi Dengan Air).
Bagi warga muslim Indonesia, Hamburg juga menawarkan majelis-majelis pengajian yang memberikan siraman ruhani. Dari pengajian anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak hingga kajian ke-Islaman untuk ibu-ibu. Pengajian bapak-bapak biasanya diadakan setiap Jum’at malam, sebagaimana dikisahkan Hidayatullah.Com sebelumnya (baca: Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!). Pengajian ibu-ibu biasanya dilakukan setiap hari Sabtu seusai acara Taman Al Qur’an anak-anak dan remaja. Selain itu, ada lagi pengajian ibu-ibu bulanan di hari Ahad, sebagaimana pula pengajian muda-mudi yang dijadwalkan setiap bulan di hari Sabtu (baca: Memotong Besi Dengan Air).
Surga di Hamburg
Pengajian bulanan ibu-ibu warga Indonesia di Hamburg yang barusan dilaksanakan Ahad lalu penuh pelajaran berharga. Betapa tidak, sebagian mereka tetap bersemangat walau harus jauh datang ke tempat pengajian disertai macet yang lama.
Dilihat dari keikutsertaan dalam berpendapat, mereka juga memperlihatkan dorongan kuat untuk saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan dan kesabaran. Mereka tampak tidak canggung untuk bertanya, menjawab, dan saling berbagi pengalaman dan pengetahuan berharga untuk memperbaiki diri di hadapan Allah. Belum lagi aura silaturahim yang kental dan menyegarkan jiwa.
Gemerlapnya tarikan-tarikan duniawi dan kehidupan materialitis yang luar biasa di Hamburg tidaklah melupakan mereka untuk mengingat Allah dan berlomba kepada kebaikan. Terlihat bahwa peserta pengajian sadar akan arti hidup ini, dan berusaha berbuat sebaik mungkin untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah di dunia ini dan di akhirat kelak. Seolah surga dunia seperti Hamburg tidaklah lengkap jika belum ditambah surga ruhani seperti forum-forum pengajian seperti itu, demi meraih akhir kematian yang baik dan surga ukhrawi. Aamiin.
Baik bisa dipandang buruk
Ada hal menarik dalam diskusi di pengajian kala itu. Salah seorang peserta mengemukakan permasalahannya pasca ceramah mengenai kedudukan niat dalam amal perbuatan. Sang peserta mengemukakan permasalahannya bahwa ketika seseorang sudah beramal baik dengan niat baik, lalu mendapatkan tanggapan atau balasan yang tidak menyenangkan dan membuat kesal, bagaimana sebaiknya bersikap.
Sungguh sebuah permasalahan yang juga sering menimpa banyak manusia, yang berharap balasan kebaikan dari amal baik yang dilakukannya. Itu adalah hal yang wajar. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, di mana tanggapan atau balasan yang tidak menyenangkanlah yang justru didapat, bagaimana dong?
Tidak mudah memang menjawab pertanyaan seperti itu. Jawaban di pengajian tersebut sengaja dibahasakan ulang di sini dengan harapan mudah-mudahan bermanfaat pula bagi pembaca sekalian.
Jawaban: Allah berjanji tidak akan menyia-nyiakan amalan baik hamba-Nya sekecil apa pun. Dan janji Allah pasti mutlak benar, sebagaimana firman-Nya:
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al Zalzalah, 99:7). “Sesungguhnya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". (QS. Yusuf, 12:90)
Itulah janji Allah SWT, yang Maha Menepati Janji. Dan balasan terbaik Allah di dunia dan akhirat terkadang memang di luar jangkauan akal manusia. Ini lantaran Allah memberi balasan terbaik-Nya berdasarkan Kemahatahuan-Nya, Kemahakasih-sayang-Nya dan Kebijaksanaan-Nya yang tidak terbatas; dan bukan berdasarkan pengetahuan akal manusia yang sempit.
Namun tidak jarang manusia memaksakan menggunakan akalnya yang terbatas untuk memahami balasan Allah tersebut. Akibatnya, balasan Allah yang sebenarnya sempurna dan mengandung hikmah kebaikan besar itu tampak buruk di mata manusia, sehingga mengesalkan, dan membuat orang menggerutu. Sebagian orang bahkan malah mungkin menuduh bahwa Allah tidaklah adil, na’uudzubillaah min dzaalik.
Teladan yang hamil di luar nikah
Sebagai contoh jawaban atas pertanyaan di atas adalah kisah Maryam, yang diberi balasan (ujian) terbaik Allah berupa hamil di luar nikah, tanpa suami. Maryam sangatlah taat kepada Allah dan menjaga kehormatan (kemaluan)nya. Tapi ia malah diberi Allah “balasan berupa hamil dan melahirkan anak di luar nikah, serta tanpa suami”.
Secara logika atau akal manusia, ini sungguh balasan yang bertolak belakang, tidak masuk akal, dan buruk sama sekali. Tidak pantas hal itu diperuntukkan bagi orang yang taat beribadah dan menginginkan kehormatannya terjaga seperti Maryam. Tapi itu menurut manusia yang akalnya sempit, namun tidak demikian menurut Allah, yang Mahatahu dan Mahabaik terhadap Maryam.
Maryam adalah satu-satunya wanita yang namanya disebut secara jelas dan langsung di dalam Al Qur’an. Bersama Asiyah, istri Fir’aun, Maryam adalah dua wanita yang disebut Al Qur’an sebagai teladan bagi orang mukmin:
“Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim". Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At Tahrim, 66:11-12)
Di ayat di atas disebutkan secara jelas bahwa Maryam adalah teladan bagi orang beriman. Maryam tidak hanya sekedar orang yang taat kepada Allah, tapi juga orang yang memelihara kehormatannya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa yang dimaksud memelihara kehormatannya adalah memelihara keperawanan (kemaluan), mempertahankan dan mensucikan kehormatannya, dengan tetap perawan dan bersih dari tindakan asusila. Balasan Allah adalah dengan memberi (menguji)nya dengan mengandung Nabi Isa tanpa menikah, tanpa suami.
Ini sungguh ujian yang sangat berat sehingga ia dituduh masyarakatnya sebagai penzina (Al Qur’an surat Maryam (19) ayat 16-35). Namun justru Nabi Isa-lah, yang lalu dapat berbicara ketika masih bayi, yang kemudian membantah telak segala tuduhan buruk terhadap Maryam selama ini, serta menegaskan kesucian Maryam. Dengan kata lain, Nabi Isa, yang dikandung Maryam tanpa suami, justru menjadi salah satu hadiah balasan terbaik Allah kepada Maryam atas kesalehannya, sebagai bukti kesucian dan kemuliaannya di sisi Allah. Balasan terbaik itu tidak hanya terbatas bagi Maryam saja, tapi juga sebagai rahmat bagi kaumnya yang mengikuti risalah Nabi Isa AS
Keselamatan di dalam sumber bahaya
Adalagi kisah ibu Nabi Musa, yang juga diketengahkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Ibu Nabi Musa ingin menyelamatkan anaknya yang masih bayi dari kekejaman Fir’aun, yang memerintahkan bayi laki-laki bani Israil agar dibunuh. Anehnya, ketika sang ibu mengkhawatirkan keselamatan bayinya, Allah justru mengilhamkan sang ibu untuk melakukan tindakan yang secara logika manusia justru memperbesar kekhawatiran itu. Sang ibu malah disuruh berpisah dengan bayinya, dan menghanyutkannya di sungai nil. Tidak hanya itu, Allah malah menjadikan sang bayi ditemukan, dan diangkat menjadi anak oleh keluarga yang menjadi sumber kekejaman itu sendiri, yakni Fir’aun.
Akal pikiran manusia mengatakan, kalau ingin selamat, maka sang ibu dan anak yang masih menyusui itu tidak boleh berpisah, tapi selalu bersama. Keduanya mesti pula melarikan diri sejauh-jauhnya dari sumber kekejaman itu, yakni Fir’aun. Tapi Allah secara bertolak belakang malah mengilhami sang ibu agar berpisah dengan bayi dalam susuannya, dan menghanyutkannya sendirian di sungai besar dan dalam, dan memiliki binatang liar yang siap merenggut nyawa sang bayi. Hal ini dikisahkan Allah dalam surat Al Qashas (28) ayat 7-13.
Namun logika dan akal manusia sungguhlah terbatas. Sebaliknya, Allah-lah yang Maha Pengasih, Penyayang dan Bijaksana. Allah sudah pasti bukanlah Tuhan yang dungu dan gemar mencelakakan hamba-Nya. Mahasuci Allah dari sifat yang demikain itu. Tetapi, dengan ke-Mahatahuan-Nya, dan Ilmu-Nya yang tak terbatas, Allah adalah yang paling Tahu bagaimana cara terbaik menyelamatkan hamba-Nya seperti nabi Musa.
Sungai Nil beserta isinya adalah ciptaan Allah dan mutlak di bawah kendali-Nya. Allah menjadikan Nil sebagai sungai yang aman bagi bayi bernama Musa. Dengan cara menghanyutkan ke sungai itu, akhirnya Musa ditemukan keluarga Fir’aun dan diasuhnya, serta disusui lagi oleh ibunya sendiri setelah pihak keluarga Fir’aun mencari orang yang bisa menyusui Nabi Musa. Tempat manakah yang paling aman dari kekejaman Fir’aun kalau bukan di dalam istana Fir’aun sekaligus jaminan keamanan dari Fir’aun sendiri?:
“Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Qashas, 28:13-14)
Nasi biru, nasi hijau
Demikianlah, jika seseorang percaya bahwa Allah pasti mutlak membalas niat dan amal baiknya dengan kebaikan pula, maka orang itu seharusnya tidak memaksakan bahwa balasan itu harus sesuai dengan akal dan pemikirannya yang terbatas. Ibarat ikut perlombaan, maka sedari awal mendaftar perlombaan itu seorang peserta lomba tidak berhak meminta panitia lomba agar memberi hadiah sesuai dengan apa dimintanya. Begitu pula dengan berlomba berbuat kebaikan di dunia, orang memang dituntut beramal baik sesuai kemampuannya. Tapi tentang balasan terbaik yang bakal diterimanya, maka itu menjadi hak penuh Allah Yang Mahatahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Boleh saja berharap balasan baik berupa hal-hal yang diinginkan seseorang setelah orang itu beramal dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan Allah. Namun jika balasan yang diterima adalah sebaliknya, maka akal pikiran terkadang tidak mampu memahaminya. Akal manusia tidak jarang malah memandang buruk balasan yang sejatinya adalah kebaikan yang luar biasa besar. Jika ini yang terjadi, maka kacamata akal pikiran semestinya tidak diutamakan, tapi kacama keimanan, untuk memahami balasan yang sekilas terlihat buruk itu. Salah kacamata bisa berakibat salah paham. Ibarat mengatakan nasi putih itu warnanya biru atau hijau gara-gara menggunakan kacamata berwarna kaca biru atau hijau, sudah pasti salah. Kalau menggunakan kacamata bening tanpa warna, maka akan benar pemahamannya tentang warna nasi putih itu: yakni benar-benar putih sebagaimana adanya.
Bagaimana menggunakan kacamata iman?
Apa yang dimaksud dengan memahami balasan yang tidak diharapkan itu dengan menggunakan kacamata keimanan? Maksudnya adalah sebagaimana berikut:
Karena kacamata iman mengatakan bahwa Allah Maha Membalas amal baik hamba-Nya dengan balasan kebaikan pula, maka sudah pasti balasan Allah itulah yang terbaik. Tidak menjadi soal meski sekilas balasan itu kelihatan buruk dalam pikiran manusia yang terbatas.
Contohnya: seseorang berniat baik dan melakukan perbuatan baik dengan memberi sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain. Bukannya berterima kasih, orang yang diberi itu malah cuek, bahkan membalas dengan caci-maki kepada si pemberi. Dengan menggunakan keimanan bahwa Allah Maha Membalas amal baik hamba-Nya, maka orang yang beramal tersebut yakin bahwa ujian berupa sikap “cuek dan caci-maki” yang diterimanya itulah balasan terbaik Allah. Sebab dengan ujian ini Allah membalas kebaikannya dalam bentuk sifat ikhlas, sabar, pemaaf, tidak mudah marah, dan segala akhlak mulia lainnya dalam diri si pemberi itu. Dan jika sifat-sifat mulia ini tumbuh dan terbentuk pada diri si pemberi itu, maka insya Allah akan menghantarkannya kepada Surga, balasan terbaik Allah yang abadi.
Lagi, karena kacamata iman mengatakan bahwa Allah Maha Penyayang maka balasan itu pasti ada unsur kasih sayang Allah. Contoh: kembali kepada kisah pemberi yang dicaci-maki oleh orang yang diberi di atas. Karena si pemberi yakin bahwa Allah Maha Penyayang, maka ia yakin bahwa “caci-maki” itu pasti balasan terbaik Allah lantaran kasih sayang-Nya terhadapnya. Sebab boleh jadi Allah Maha Tahu bahwa si pemberi memiliki jiwa yang mudah tergelincir, sehingga jika balasan itu berupa ucapan terima kasih, pujian, dan sanjungan kepadanya malah akan mudah sekali membuatnya sombong, takabur, dan terlalu bangga diri atas apa yang diberikannya itu. Sifat sombong, takabur, dan tinggi hati adalah sifat iblis penghuni neraka. Dengan demikian si pemberi merasa bersyukur karena merasa diberi balasan terbaik Allah berupa dijauhkan dari sifat-sifat tercela itu, yakni sifat iblis ahli neraka.
Terakhir, karena kacamata iman memberitahu bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana, maka balasan itu pasti ada unsur pengetahuan Allah yang tak terbatas. Dengan kata lain Allah sudah pasti paling tahu apa yang paling bijaksana buat hamba-Nya. Manusia, yang tidak tahu masa depannya, tidak mungkin tahu benar apa yang terbaik buat dirinya dan orang lain di masa depan. Karena Allah-lah Satu-satu-Nya yang tahu masa depan, maka dengan segenap Kebijaksanaan-Nya, Dia memberikan balasan yang terbaik buat para hamba-Nya, meskipun itu sekilas tampak pahit.
Contoh: kembali kepada kisah pemberi yang dicaci-maki oleh orang yang diberi di atas. Bisa jadi orang yang diberi itu mungkin sedang dirudung masalah berat, sehingga dia sebenarnya tidak ingin mencaci-maki si pemberi. Tapi itu sekedar luapan emosi tak terkendalinya karena masalah tidak terkait yang sedang dihadapinya. Namun karena si pemberi memiliki keimanan kepada Allah yang Maha Bijaksana, ia tidak membalas caci-maki itu dengan caci-maki serupa, tapi ia sabar, menahan diri, dan yakin bahwa caci maki itulah bentuk balasan paling bijaksana dari Allah. Sebab bisa jadi dengan cara ini Allah sedang menumbuhkan di dalam diri si pemberi itu sifat mulia sabar, bijak dan berempati dengan orang lain yang sedang dirudung masalah berat.
Selain itu, dengan kacamata keimanan, si pemberi berprasangka baik bahwa bisa jadi orang yang diberi itu suatu ketika berubah sifat. Orang yang diberi itu mungkin saja setelah itu merenungkan kembali perbuatan mencaci-makinya yang telah lewat, dan akhirnya sadar. Setelah sadar, bisa jadi orang yang diberi itu akan berubah menjadi orang baik, meminta maaf, atau bahkan meminta ampun kepada Allah dan mendoakan kebaikan atas si pemberi. Dan bisa jadi pula ia kemudian terilhami untuk menjadi orang yang sabar seperti si pemberi, dan ujung-ujungnya yang diuntungkan adalah si pemberi yang dicaci-maki itu. Sebab, jika seseorang melakukan kebaikan karena terilhami oleh kebaikan orang lain, maka orang yang mengilhami kebaikan itu akan mendapatkan cipratan kebaikan (pahala) dari orang yang meniru kebaikannya. Wallaahu a’lam (Dikisahkan langsung oleh Abu Ammar dari Hamburg, Jerman/hidayatullah.com).
Komentar :
Posting Komentar